Oleh: Dr. M. Ali Anwar, M.Pd.
Kemarin (27/8), seharian, mulai pagi sekali sampai sore, saya berkeliling ke tempat mahasiswa melaksanakan pengabdian masyarakat melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN) di 11 desa yang terbagi di 2 kecamatan, yaitu Gondang dan Lengkong Kabupaten Nganjuk.
Di setiap lokasi, rata-rata setengah jam saya menggali informasi dan berdiskusi dengan mereka. Bahkan di beberapa tempat lebih dari setengah jam, karena merasa asyik dan banyak hal yang perlu saya ketahui.
Dalam melaksanakan KKN, mereka berbaur dengan masyarakat dalam banyak hal. Kalau pagi mereka berbaur dan membantu di lembaga formal seperti PAUD, TK/RA,SD/MI, SMP/MTs. Ada yang di kantor desa membantu membenahi administrasi. Ada yang membantu PKK dan Posyandu pas kegiatan.
Di sore hari, mereka membantu di lembaga non formal seperti TPQ dan Madin. Ada yang berbaur ikut pengajian yang dilaksanakan sore hari. Terkadang ikut berpartisipasi dalam kegiatan produktif harian masyarakat sekitar.
Untuk waktu malam mulai usai maghrib mereka membuka bimbel untuk anak usia sekolah dasar yang kalau sore mengaji di TPQ atau Madin. Juga mengikuti pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu yang dilaksanakan malam hari, terutama malam hari Jumat dan hari-hari tertentu. Pengajian yasin-tahlil sebagai ciri khas tradisi masyarakat NU.
Ada beberapa hal yang menarik menurut saya, ada yang bercerita bahwa bahwa kemarin pada saat hari raya idul adha ada yang bertugas menjadi bilal dan bertugas sebagai khatib. Ada yang menjadi panitia qurban yang diserahkan kepada mahasiswa. Ada yang mendirikan dan membina sholawat Al Habsi kepada para generasi muda masjid, yang semula belum ada. Ada yang menguatkan taman baca masyarakat dengan cara menghubungkan untuk minta bantuan kepada perpusda dan tempat lain. Ada pula yang membuatkan buku panduan praktis untuk ibadah keseharian (fiqih praktis). Ada yang menghubungkan atau mencarikan sponsor untuk satu kegiatan di sekolah. Ada yang memberikan pelatihan dari skill yang dimiliki sebagian mahasiswa kepada para pemuda desa. Dan banyak hal yang dilakukannya lainnya.
Tentu hal yang membanggakan dan membahagiakan bagi saya, karena ternyata mahasiswa bukan saja belajar di tengah kehidupan masyarakat, tapi mampu memberikan kontribusi dengan kehadirannya. Kehadirannya tidak menjadi beban berat masyarakat tapi membantu dalam hal tertentu yang bagi masyarakat dibutuhkan. Teori take and give berjalan antara masyarakat dan mahasiswa.
Ada yang menceritakan di salah satu desa ada dua pengajian ibu-ibu. Satu kelompok pengajian muslimat dan satunya taklim. Satunya ibu-ibu NU dan satunya ibu-ibu Muhammadiyah kira-kira begitu. Mereka ikut berpatisipasi dengan cara membagi tugas untuk hadir di dua kelompok pengajian. Lantas saya tanya apa bedanya?
Dengan semangat mereka menceritakannya masing-masing. Yang ikut pengajian ibu-ibu Muslimat menyampaikan di dalam acaranya adalah pembukaan, pembacaan ayat suci Alquran, bacaan Yasin dan tahlil, lantas ceramah/tausiyah, doa dan ditutup shalawat. Ada yang ditambah dzibaan sebelum tausiyah dan sebagainya. Selanjutnya makan bersama dan saat pulang ada berkat yang dibawa. Yang ikut pengajian di kelompokkan ibu-ibu Muhammadiyah menceritakan acara dimulai dengan pembukaan, pembacaan ayat suci Alquran, tausiyah/ceramah, doa, dan makan bersama.
Dari dua hal yang berbeda tersebut, saya menyampaikan bahwa dua kelompok tersebut hanya secara teknik dan sistemnya yang beda. sesungguhnya secara subtansi sama, hanya kreatifitas yang berbeda. Yang panjang yang lebih membutuhkan waktu lebih memberikan atau mengkompliti dari semua sisi jika dilihat dari rangkaian acara. Yang ibu-ibu taklim lebih singkat dengan mengambil rangkaian inti. Artinya secara subtansi sama, secara teknis dan sistem yang berbeda.
Yang menyenangkan bagi saya, walaupun mahasiswa semuanya NU (yang saya ketahui), tapi mampu berbaur dan hormat terhadap kelompok yang berbeda. Tentu sikap dan pembelajaran toleransi yang selama ini mungkin masih bersifat pengetahuan, mereka telah mampu mengimplementasikan dalam kehidupan di tengah masyarakat. Bahkan ada yang menceritakan bahwa di desa ada cara/aliran lain yang berbeda lagi. Tapi mereka tetap bergaul bersama-sama dengan mereka.
Nganjuk, 28 Agustus 2018
Tinggalkan Komentar